Thursday, December 3, 2015

Pengalaman menjadi kuli batu merah


Ini cerita tentang pengalaman masa kecil saya, saat masih duduk di bangku SD kelas 2 sampai kelas 5 (tahun 1993 s.d 1996).
Saat masih anak-anak dulu saya pernah menjadi kuli batu merah musiman.
Kenapa musiman? Ya karena nanti ada tetangga yang sedang membangun rumahnya baru kami menjadi kuli.

Bukan hanya saya yang menjadi kuli, tapi semua saudaraku juga dan bahkan semua anak-anak yang ada di lorong Pariama (tempat tinggal saya).
Laki-laki maupun perempuan semuat turut dalam pekerjaan ini.
Anak-anak yang bekerja masih duduk di bangku SD bahkan ada juga yang belum sekolah seperti adik perempuan saya dan teman-teman sepantarannya, mereka biasanya membantu dengan mengangkat sebiji atau 2 biji batu merah sekali jalan.

Mungkin kalau sekarang pasti akan menjadi kasus di komnas HAM karena mempekerjakan anak di bawah umur.
Tapi kalau dulu, tidak ada yang memaksa kami.
Kami hanya ditawarkan oleh teman kami “siapa yang mau angkat batu merah, nanti bapakku bayar?”
Seketika itu juga anak-anak langsung berhenti bermain dan langsung mencari kardus bekas di tong sampah toko depan lorong kami untuk dijadikan alat angkut.
Ada yang bekerja sendiri, ada yang bekerja secara tim.
Waktu itu kami diberi upah Rp.25/batu.

Karena lorong kami tidak bisa dimasuki mobil, maka batu merah diletakkan di depan lorong jadi tugas kami adalah membawanya sampai ke rumah yang punya hajat.
Jaraknya dari depan lorong sekitar 120 sampai 250 meter.

Kami bahkan tidak sabar untuk memulai pekerjaan.
Kami bahkan bertanya “kapan batunya bisa kami angkat?”

Saat ada kerjaan, anak-anak tidak ada yang bermain sampai kerjaan tersebut selesai.
Biasanya batu merah baru akan habis terangkut setelah 4 sampai 5 hari.
Anak-anak semua sibuk bekerja dari pagi sampai menjelang maghrib kalau hari libur.
Kalau hari sekolah, kami biasa mulai jam 2 siang, tapi jarang sih kami dapat orderan bila hari sekolah.
Biasanya ada proyek selalu bertepatan dengan hari libur panjang anak sekolah.

Tidak ada paksaan dalam jam kerja, kerja semampu kami.
Bila capek, kami berhenti dan bila sudah kembali lagi tenaganya, kami akan teruskan kembali.
Kadang sehari saya mengangkut 20 biji, kemudian berhenti dan meneruskan keesokan harinya.

Tidak ada yang memaksa kami dan kami juga bukan anak orang tidak mampu.
Selain motif pengen punya uang sendiri dan membeli apapun yang kami inginkan dengan uang itu, kami juga kadang adu kuat sama teman yang lain.
Mengadu siapa yang lebih banyak mengangkut batu merah.

Ada yang mengambil upah secara harian, ada juga yang menabung nanti dibayar di hari terakhir.
Karena waktu itu saya masih kelas 2 sampai kelas 5 SD, jadi saya paling banyak mengangkut 75 buah batu merah. Jadi paling banyak saya mendapatkan upah Rp.1.800.
Kadang kalau lagi malas, paling angkutnya 40 biji.
Sekali jalan saya paling banyak mengangkut 5 biji batu merah.
Yang kuat ya yang lebih senior yang usianya sepantaran dengan kakak saya, mereka bisa angkut sampai 100 biji setiap kali ada proyek.

Upah yang saya terima biasanya dibelikan makanan mewah pada saat itu seperti snack Canasta, Tazos, Nyam-Nyam, permen Jagoan Neon atau yang paling spesial, Indomie Goreng!
Kalau sudah bisa membeli Indomie Goreng dengan uang hasil keringat sendiri selama berhari-hari, rasanya sangat luar biasa. Rasanya seperti “orang kaya” dan makannya tidak mau cepat-cepat biar nikmatnya lama terasa dan tidak cepat habis.
Yang paling hebat lagi kalau dari uang tersebut bisa membeli bakso.
Bakso pada saat itu harganya Rp.300, 500, 800 (kelas 2 s.d 4 SD) dan Rp. 1000, 1300, dan 1500 (saat sudah kelas 5 SD).
Kalau masih ada sisa, uang tersebut saya tabung.

Pernah ada kejadian waktu hasil kerjaku tersebut saya belikan sebungkus Indomie goreng.
Waktu itu di rumah lagi ada sepupu yang nginap beberapa hari.
Dia menawarkan untuk membuatkan mie goreng tersebut.
Dan hasilnya sangat mengecewakan, Indomie goreng tersebut menjadi mie kuah karena airnya tidak ditiriskan.
Waktu itu saya sangat sakit hati dan pengen nangis.
Sudah kerja berhari-hari dan terbayang nikmatnya menyantap mie goreng malah jadi seperti itu.
Mau beli lagi, duitnya sudah tidak cukup.

Itulah salah satu pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.
Walaupun harus jadi kuli berhari-hari tapi itu menjadi kenang indah dalam hidupku.
Saya dan teman-teman bukan anak orang tidak mampu.
Orang tua kami kebanyakan juga kerja kantoran.

Tidak ada  paksaan, kami hanya bersemangat menyelesaikannya bersama.
Mungkin karena pernah mengalami hal seperti ini, kami jadi tumbuh menjadi anak yang lebih menghargai uang, menghargai hasil jerih payah orang tua kami dan tidak manja.

No comments:

Post a Comment