Mulai tahun lalu marak meme tentang utang yang lucu dan memang ngena banget bagi yang pernah mengalaminya, salah satunya ada yang mengatakan "sebelum ada utang, kita adalah sahabat, tapi setelah aku tagih, kamu makin susah dihubungi, seperti kamu menganggapku musuh!"
Apa yang dituliskan salah satu meme yang bertebaran diinternet tersebut ternyata menimpa kami juga.
Semua berawal di tahun 2013 saat kami pindah kontrakan dan bertetangga dengannya.
Kami sering berinteraksi dan bahkan jalan bersama.
Dia di sana tinggal dan merawat anak-anak dari sepupunya.
Tahun 2014, dia berkenalan dengan seorang pria di Jakarta dan nekat melamarnya.
Saat itu dia minta masukan, apakah meneruskan hubungan itu atau tidak, ya kami bilang teruskan saja, daripada hidup di sini merawat anak orang, lebih baik ngurus anak sendiri.
Hubungan mereka hanya diketahui oleh orang tua dan saudara-saudaranya yang saat itu ada di Papua, sedangkan orang-orang di rumah yang dia tinggali saat itu tidak ada yang tahu.
Bahkan dia takut kalau rencana mendadak ini ketahuan orang rumah.
Bapaknya sudah tiada, dan saudaranya tidak bisa hadir karena masalah biaya, jadi dia harus punya surat kuasa dari saudaranya untuk wali nikahnya.
Karena saat menikah saya juga mengurus semuanya sendiri, maka saya tahu rasanya.
Tanpa diminta, saya membantunya membuatkan surat kuasa dari saudaranya, hanya hal sekecil itu yang bisa saya berikan untuk dia.
Yang kami inginkan adalah, kehidupannya lebih baik dan bahagia.
Saat itu dia menjadikan kami temannya di FB dan mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya buat kami, katanya, walau kami hanya orang lain, tapi serasa saudara sendiri.
Suatu kebahagiaan buat kami bila ternyata kami dianggap seperti itu.
Jadi, menikahlah dia di sana, dan beberapa waktu kemudian, dia menerima istriku sebagai temannya di BBM, artinya dia sudah punya hp yang lebih bagus, kami bersyukur kehidupannya lebih baik daripada di sini.
Singkat cerita dia telah dikaruniai anak, dan saat itu mungkin lagi kesulitan, minjamlah uang ke kami, tidak banyak, hanya 200rb, katanya untuk uang susu anaknya, saat itu kondisi kami juga lagi kurang bagus, tapi kami membantunya karena kami percaya.
Awal tahun lalu, katanya dia mau ke Makassar dan singgah di tempat kami.
Kami sangat senang bila dapat bertemu kembali dalam kondisi yang telah berbeda.
Jadi, rencana kami liburan ke pantai Bira Bulukumba bersama teman-teman kami batalkan.
Katanya, dia tidak singgah ke rumah sepupunya yang dulu, mungkin belum berani.
Ternyata, setelah lama menunggu di hari H, kami konfirmasi, ternyata dia tidak jadi singgah, katanya dia tinggal di rumah keluarganya yang lain.
Beberapa lama kemudian, mungkin istriku lagi butuh, dan tidak salah juga bila kami menagih uang kami.
Mereka ngobrol lewat BBM, semua berjalan lancar pada awalnya, dan dia sudah meminta nomor rekening.
Setelah nomor rekening terkirim, lama tidak ada balasan, kontakpun direfresh, dan hasilnya, kami sudah didelcont oleh dia!
Sakit hati rasanya diperlakukan seperti itu, kami tidak menuntut dia untuk membayarnya segera.
Bila memang dia belum mampu, kami bisa menerima, asal dia ngomong.
Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kami ini saudaramu?
Kami ini orangnya santai saja, kami hanya ingin ngobrol biasa, kami ingin persahabatan kami tetap terjaga.
Salah apa kami wahai kawan? Kami hanya menagih hak kami, mengapa kau perlakukan kami seperti kau tidak pernah mengenal kami sebelumnya, seperti kami ini musuhmu?
Kini kau di mana? Tak pernah menyapa kami lagi, padahal ada banyak yang bisa kita obrolkan selain hal itu kawan.
Jumlahnya memang tidak besar, tapi waktu itu kami juga sedang butuh untuk bertahan di akhir bulan, yang pada akhirnya berujung di pegadaian.
Persoalan 200rb menghancurkan persahabatan.
Utang berujung delcont!
No comments:
Post a Comment