Thursday, November 20, 2014

Budaya Penduduk Kawasan Adat Ammatoa Mulai Luntur?

3 hari ini saya lagi mengikuti diklat jurnalisitik, diklatnya diadakan di Bulukumba, kota yang hampir 3 tahun lalu ku tinggalkan,  datang ke sini dan melihat perubahannya membuatku antusias.

Saya tidak akan menceritakan tentang proses pembelajaran atau materi yang diterima saat diklat jurnalistik itu, tapi saya akan menceritakan pengalaman pertamaku ke Kawasan Adat Ammatoa Kajang yang masih dalam rangkaian diklat tersebut, belajar sekaligus berwisata.

Di hari kedua ini, rombongan berkunjung ke Kawasan Adat Ammatoa Kajang, walaupun saya pernah hidup 6 tahun di sini, tapi berkunjung ke Ammatoa adalah yang pertama kalinya.
Di perjalanan saya terbayang betapa sulitnya memasuki kawasan itu karena tidak boleh mengenakan alas kaki, terbayang juga bagaimana kehidupan orang-orang di sana tanpa barang elektronik.

Untuk diketahui, Kecamatan Kajang itu terbagi dua, ada Kajang Luar dan ada Kajang Dalam.
Kajang luar hidup layaknya kita, mereka tidak menolak teknologi.
Sedangkan Kajang Dalam, mereka tidak tersentuh teknologi seperti listrik, barang elektronik, kendaraan bermotor, tidak mengenakan alas kaki dan hanya mengenakan pakaian hitam sebagai lambang kesederhanaan.

Sesampainya di sana kami terlebih dahulu ke rumah Kepala Desa Tana Toa yang letaknya tidak jauh dari gerbang kawasan adat untuk meminta izin.
Di rumah Kepala Desa kita bisa menyewa sarung hitam atau baju hitam bila kita tidak membawanya.
Kita di sana memang harus berpakaian serba hitam untuk bisa masuk ke kawasan adat.
Untuk memasuki kawasan adat, kami akan ditemani oleh seorang guide asli waga Kajang Luar yang kebetulan saya kenal karena dia pernah jadi tenaga security waktu saya masih kerja di Bulukumba.

rombongan peserta diklat di depan gerbang Kawasan Adat Ammatoa (20.11.14)

Sebelum memasuki gerbang kawasan adat, tepat di sampingnya ada sekolah dasar, jadi perlu diketahui, anak-anak Kawasan Adat Ammatoa juga ada yang bersekolah di situ, jadi tidak benar bila kita mengira mereka tidak menerima pendidikan sama sekali.

Sekolah Dasar tepat di samping gerbang Kawasan Adat Ammatoa (20.11.14)

Kejanggalan yang pertama saya temui adalah, pada awalnya saya mengira masuk ke kawasan adat tidak boleh mengenakan alas kaki, ternyata kami diperbolehkan.
Salah seorang temanku yang pernah berkunjung ke sana 3 tahun lalu juga jadi heran karena katanya pada waktu itu, dia dan rombongannya tidak diperkenankan mengenakan alas kaki.
Ini sebuah keberuntungan atau kita mesti prihatin? Sebab ngeri juga membayangkan berjalan kaki sekitar 1 km tanpa alas kaki.

jalan Kawasan Adat Ammatoa, kami tetap beralas kaki (20.11.14)

Beberapa menit kemudian, tibalah kami di rumah Ammatoa (Kepala Adat) nya, nah nanti di sinilah baru kita tidak diperkenankan mengenakan alas kaki, jadi bagi yang mau masuk ke rumah Ammatoa, harus melepas alas kakinya sebelum masuk ke halaman rumah.

memasuki rumah Kepala Adat, baru lepas alas kaki (20.11.14)

Waktu itu saya malas membuka alas kaki, jadi saya di luar aja ngambil foto dan melihat warga sedang menghaluskan kayu.
Waktu duduk-duduk bersama warga ini, kami juga bisa ngobrol dengan bahasa Indonesia, jadi jangan salah mengira kalau mereka tidak tahu bahasa Indonesia.

selfie di depan rumah Kepala Adat Ammatoa (20.11.14)

Kejanggalan kedua yang saya temui adalah, saat ngobrol bersama warga, saya melihat ada yang menggunakan hp dan bukan hanya satu orang, perkiraanku kembali meleset tentang keprimitifan warga Kajang Dalam ini.

ngobrol bersama warga Kawasan Adat Ammatoa (20.11.14)

Selanjutnya, saya dan teman-teman yang tidak masuk ke rumah Kepala Adat, berjalan ke Balai Desa yang tidak jauh dari rumah beliau.
Letak Balai Desa ini sangat strategis, terdapat di tengah-tengah persimpangan jalan dan memiliki halaman yang cukup luas, rupanya seperti Pos Ronda dan ada kentongannya.

selfie di balai desa Ammatoa (20.11.14)

Kejanggalan ketiga yang saya temui adalah pada saat pulang, saya berpapasan dengan anak-anak wanita yang sedang mengangkat air. Saya melihat pakaian mereka tidak sepenuhnya hitam dan bahkan ada yang mengenakan alas kaki.

Beberapa anak Kawasan Adat Ammatoa yang tak mengenakan
pakaian hitam dan beralas kaki (20.11.14)

Dari pengalaman pertamaku kali ini saya kemudian bertanya, apakah budaya penduduk Kawasan Adat Ammatoa mulai luntur? Ataukah memang sengaja dilunakkan di tempat-tempat tertentu dan usia tertentu untuk sedikit memudahkan kehidupan warga?
Saya dan teman yang pernah ke sini beberapa tahun lalu hanya takut suatu saat nanti kami dan generasi selanjutnya tidak dapat lagi melihat budaya warga Ammatoa yang unik ini.

Walaupun kenyataan yang saya lihat berbeda dengan cerita kebanyakan orang, tapi ketakjuban itu tetap ada.
Kami di sana dari siang sampai sore tapi rasanya seperti tengah malam karena hening, hanya suara jangkrik yang terdengar.
Jalan berbatu dan pohon-pohon yang tumbuh lebat semakin melengkapi suasana.
Bagaimana rasanya hidup di tempat seperti ini?
Memang suatu cara hidup yang tak bisa dicerna oleh orang-orang seperti kami.
Saya rasa kita perlu belajar kesabaran dan kesederhanaan pada mereka.

No comments:

Post a Comment