Hari ini menjadi pengalaman yang sulit ku lupakan.
Pengalaman yang paling mengerikan saat naik pesawat dan membuatku trauma sampai 12 jam.
Gara-gara didesak terus untuk segera melakukan akad
pembelian rumah di Kendari, akhirnya hari ini aku berangkat ke Kendari walaupun
sebenarnya hati kurang sreg karena terkesan terburu-buru, persiapan kelengkapan
administrasi juga belum sepenuhnya tuntas dan cuaca yang kurang bersahabat
beberapa bulan ini karena sedang musim hujan.
Dari bangun tidur sampai sore menjelang
keberangkatan-pun matahari tidak pernah terlihat karena selalu tertutup oleh
awan hitam.
Saat menuju bandara, dari dalam taksi aku selalu
melihat-lihat langit berharap ada sedikit cahaya matahari tapi langit tetap
saja gelap dan hujan masih terus turun.
Dalam hati bertanya bagaimana nanti keadaannya pada
saat di atas?
Dan ada juga harap agar penerbangan kami baik-baik
saja.
kondisi di luar pesawat ~ hujan dan awan hitam |
Saat menunggu penerbangan aku melihat pesawat Wings yang terbang duluan menuju Kendari.
Dalam hati jadi tenang karena aku beranggapan kalau
pesawat kecil itu saja berani, masa aku tidak berani dengan pesawat yang lebih
baik.
Kemarin aku hampir memilih naik Wings karena lebih
murah, tapi karena waktunya terlalu cepat aku akhirnya membeli tiket Garuda
yang kebetulannya juga pada saat itu perbedaan harganya hanya 50.000 rupiah.
Jam 17.20 WITA pesawat kami mengudara.
Jam 17.20 WITA pesawat kami mengudara.
Penerbangan kami bisa tepat waktu yang artinya
cuaca ini masih layak dilewati.
Tapi baru naik sesaaat pesawat sudah goyang-goyang
seperti sedang mengalami kesulitan melewati kumpulan awan.
Terasa lama berlalu, Aku pikir kami sudah berada di
tengah perjalanan.
Sesaat ada celah buat kami bisa melihat ke bawah
dan terlihat sisi daratan di belakang kami yang artinya ternyata kami baru saja
melewati bagian timur sulawesi selatan yang artinya horor ini masih akan lama
berlanjut.
awalnya masih percaya diri, namun setelah itu? |
Dalam perjalanan normal seharusnya sekitar 15 menit lagi kami sampai ke Kendari tapi ternyata kami baru sampai di sisi terluar bagian timur sulawesi selatan atau tepatnya melewati Kabupaten Bone dan masuk ke perairan.
Begitu sulitnya pesawat ini melewati rintangan.
Pesawat tidak pernah berhenti bergoyang.
Hanya ada awan putih yang menyelimuti pesawat.
Membuat malas bicara dan malas makan makanan yang
telah dibagikan.
Dan akhirnya tibalah di bagian terhoror-nya.
Pilot memberikan informasi sesaat lagi pesawat akan
memasuki cuaca yang kurang baik dan semua penumpang dihimbau untuk kembali ke
tempat duduk dan mengenakan seat belt.
Hatiku makin kesal membayangkan apa yang akan
terjadi selanjutnya.
Pesawat akhirnya bergetar keras dan kemudian jatuh
bagaikan kehilangan daya angkat sekitar 4 detik kemudian normal dan kemudian
jatuh lagi selama 2 detik.
Kami dan semua penumpang berteriak.
Bapak sangar bertato di depan kami yang sedang baca
koran pun teriak dan berhenti membaca. Tangannya sekarang hanya memegang kursi.
Saat terjatuh tersebut aku sempat berpikir bahwa
inilah akhir hidup kami.
Saat itu pikiran burukku mencoba menenangkanku.
Saat itu aku berpikir kalau aku mati, setidaknya
aku bisa mati dengan tenang karena tidak meninggalkan beban pada istriku karena
istriku juga ikut dalam perjalanan ini.
Namun saat pesawat kembali normal dan tetap
diselimuti awan aku hanya berharap bahwa aku masih bisa mendengar mesin pesawat
berbunyi.
Setelah kejadian mengerikan tersebut, tetap tak ada
yang bisa terlihat dari pesawat. Semuanya tertutup awan dan pesawat terus
bergoyang-goyang.
Jam 18.40 WITA aku berpikir bahwa teror kami telah
berakhir karena Pilot mengumumkan bahwa sesaat lagi pesawat akan mendarat di
bandara Kendari, tapi ternyata teror masih terus berlanjut karena hujan lebat
dan awan hitam tebal menutupi bandara Kendari sehingga kami tidak bisa mendarat
dan harus berkeliling-keliling di sekitaran Kendari.
Walaupun hanya berkeliling di atas Kendari tapi itu
juga menimbulkan kegelisahan penumpang karena awan hitam berada di sekitar kami,
timbul juga pikiran buruk kalau bahan bakar pesawat habis atau pesawat ini
tersambar petir.
Aku hanya bisa berdo’a semoga kami bisa segera mendarat
dengan selamat.
Baru kali ini aku berdo’a tanpa henti sepanjang
perjalanan.
2 jam berdo’a tanpa henti dan tak merasakan capek.
Setelah 45 menit berputar-putar di atas Kendari
akhirnya pesawat mendarat dengan keras seperti langsung terjatuh dari atas atau
mendarat secara vertikal/garis lurus langsung.
Aku dan semua penumpang teriak karena kami kaget.
Kami tak merasakan ancang-ancang atau tanda-tanda pesawat akan mendarat dan tak
melihat lampu bandara dan kemudian kami tiba-tiba mendengar suara tabrakan
keras.
Pada saat itu aku mengira roda pesawat atau bagian
bawah pesawat terkena pepohonan di hutan.
Perjalanan ke Kendari dalam kondisi normal hanya
ditempuh selama 45 sampai 50 menit, tapi kami baru tiba di atas Kendari setelah
jam 19.30 WITA atau sekitar 2 jam lebih kemudian.
Jarak Makassar-Kendari seperti menempuh perjalanan
Makassar-Jakarta.
Saat menumpang taksi dan menuju ke rumah, aku
melihat orang-orang yang sedang asyik menikmati malam di pinggiran jalan by
pass.
Aku merasa nikmatnya menjejakkan kaki di atas tanah
daripada berada di atas sana.
Aku beryukur masih diberi kesempatan menjejakkan
kakiku di bumi ini.
Mendung memberikan kesenangan orang-orang yang
berjalan di atas tanah namun merupakan sebuah teror mengerikan bagi orang-orang
yang ada di atas sana.
Begitu sempurna ciptaan Tuhan, semua yang
diciptakannya mempunyai makna.
Sesuatu yang kita anggap buruk belum tentu buruk
bagi yang lainnya demikian pula sebaliknya, yang kita anggap baik belum tentu
baik bagi orang lain.
Kita hanya perlu rajin-rajin bersyukur.
Ternyata pesawat mahal dan secanggih apapun tidak
dapat melawan kekuatan alam.
Manusia boleh merasa hebat di atas manusia lainnya
namun saat berhadapan dengan alam, manusia seakan tiada arti dan serasa hanya
seperti titik kecil di bumi ini.
Saat sampai di rumah, seharusnya aku banyak bicara
kepada adikku dan ibuku, namun itu tidak terjadi. Aku hanya diam karena masih
trauma.
Traumaku baru sembuh pada keesokan harinya, saat
traumaku teralihkan oleh kesibukan mengurus berkas sebagai kelengkapan akad
rumah.
Mirip dengan pengalaman saya saat terbang dari Jakarta ke Yogya. Saat di atas Laut Jawa, pesawat bergoncang keras karena hujan lebat. Saya sampai berdoa berkali-kali dan berusaha jangan panik. Begitu ada pengumuman pesawat mau mendarat... huh... lega deh
ReplyDelete