Ini adalah cerita tentang gitar-gitar yang pernah
ku miliki.
Berikut ceritanya:
1. Gitar
Akustik Tak Bermerek (1997)
Ini adalah gitar pertamaku, dibelikan mama saat dia
diklat di Semarang selama 3 bulan.
Saat itu tahun 1997 dan saya masih duduk di kelas 6
SD.
Memang saya pernah minta dibelikan gitar
sebelumnya, tapi saat mama pergi ke Semarang saya tidak minta apa-apa.
Saat mama pulang, dia sudah membelikanku gitar ini.
Gitar akustik tak bermerek seharga 25 ribu rupiah.
Gitar ini tarikan senarnya sangat keras sehingga
membuat sakit jari-jari.
Walaupun begitu gitar ini sangat ku banggakan
karena pada saat itu tidak semua orang mampu membeli gitar.
Pada saat itu tidak semudah anak-anak sekarang
untuk memiliki gitar.
Sore harinya saya langsung diajarin oleh tetangga
memainkan lagunya Stinky yang berjudul Mungkinkah.
Tapi karena kemudian kami bermusuhan, akhirnya saya
hanya belajar sendiri lewat catatan tangannya.
Lagu tersebut baru bisa ku kuasai saat perhelatan
Piala Dunia 1998 usai.
Saat itu saya sudah mau naik ke kelas 1 SMP.
Lagu tersebut baru bisa ku mainkan dengan lancar
setahun kemudian.
Saat bulan Juni 1999, jam 2 malam, saat kami semua
masih terlelap, bukit di belakang rumah longsor dan menyebabkan aliran air
hujan tersumbat.
Aliran tersebut kemudian masuk ke dalam rumah dan
menggenangi lantai sampai ukuran mata kaki.
Gitar-ku yang ku sandarkan di samping lemari pun
akhirnya jadi korban.
Dia basah dan tabungnya membuka.
Semua terjadi karena dia terlambat dievakuasi.
Saat itu saya bangun dan sangat sakit hati tapi
tidak sampai nangis karena keadaan waktu itu sangat mencekam, saya takut kalau
tanah dibelakang rumah akan longsor lagi dan menghancurkan rumah kami.
Kami hanya bisa berjaga, saya pun lanjut dengan
menonton perhelatan Copa America 99 yang ditayangkan di TV.
Waktu itu juga lantai 2 rumah sedang dibenahi dan
kebetulan saya suka dengan dunia pertukangan.
Bagiku Tukang itu orang hebat karena bisa membuat
apa saja tanpa sekolah tinggi.
Banyak alat-alatnya yang coba-coba ku gunakan
karena membuat penasaran.
Dari sinilah saya tahu gunanya dempul.
Saya pun langsung minta duit ke mama dan kemudian
membeli dempul di pasar.
Sekaleng dempul habis buat merekatkan kembali
tabung gitarku.
Setelah selesai di dempul, kemudian tabungnya ku
cet warna hijau.
Tabung gitarnya jadi kian menebal dan teksturnya
tidak rata tapi tetap halus karena ku amplas terlebih dahulu sebelum dicet.
Setelah saat itu, suara gitar tersebut tidak pernah
kembali normal dan tarikan senarnya pun semakin keras, tenaga yang dikeluarkan
untuk membentuk kunci palang semakin besar dan membuat ngos-ngosan.
Gitar tersebut menemaniku sampai tahun 2004.
Saya meninggalkannya karena harus melanjutkan
pendidikan di Makassar.
Saat kembali pada tahun 2006, neck gitar tersebut
sudah patah, mungkin sudah tidak kuat lagi menahan tarikan senarnya.
Tak ada dokumentasi tentang gitar pertamaku ini,
karena saat itu fotografi tidak semurah dan semudah jaman sekarang, namun
bentuknya kira-kira seperti ini:
replika gitar pertamaku |
2. Gitar
Akustik Tak Bermerek (2004)
Saat menjalani pendidikan di Makassar, saat aku
punya uang, yang pertama ku beli adalah gitar.
Sebuah gitar bolong tak bermerek ku beli di jalan
somba opu Makassar seharga 250rb, harga yang cukup menyesakkan untuk anak
kos-an pada jaman itu.
Dilema juga sebenarnya, karena dengan uang segitu,
saya bisa membeli hp bekas, tapi karena lebih mengutamakan hobi, maka gitar-lah
yang ku pilih.
Karena temanku adalah seorang gitaris, maka aku
memintanya untuk memilihkan gitar yang terbaik.
Tak tahunya, saya menyesal kenapa harus mengikuti
pilihannya.
Karena 2 hari kemudian, saat distem, bridge gitar
tersebut tidak mampu menahan tarikan senar dan akhirnya bridge-nya terangkat.
Kami memperbaikinya dengan mengelem bridgenya namun
itu tidak akan pernah membuatnya normal lagi karena stemannya sudah tidak bisa
dikencangkan standar lagi.
Gitar ini tidak bertahan lama, hanya sekitar 4 bulan
karena dicuri orang.
Pada suatu malam seperti biasa kami ngumpul-ngumpul
di teras depan kamar kami. Kami ngobrol dan bermain gitar.
Karena tidak pernah terjadi apa-apa dan sudah
biasa, gitarku ku tinggalkan di kursi depan kamarku.
Kos-kosan kami juga punya pagar yang tinggi di
depan rumah pemiliknya.
Keesokan paginya kami belum menyadari gitar itu
hilang karena kami sibuk ke kampus.
Pada malam hari, saat kami ngumpul dan ingin
bermain lagi, barulah kami menyadari bahwa gitar itu hilang.
Beberapa hari kemudian, Di hari minggu, teman-temanku
ke pantai losari untuk lari pagi.
Kebetulan kos-kosan kami hanya berjarak sekitar 250
meter dari pantai losari.
Saat mereka sedang santai, ada pengamen yang
menghampiri dan menyanyikan lagu.
Si pengamen tersebut menenteng gitarku.
What the fuck? Gitarku dicuri kemudian dia pakai
cari makan di depan kami?
Mungkin dia tidak tahu kalau kami pemilik gitar
itu.
gitar ke-2-ku (doc 2005) |
3. Gitar
Akustik Yamaha (2007)
Saya kepengen lagi punya gitar setelah sekian lama
tidak memilikinya.
Akhirnya pada saat sudah bekerja di Bulukumba, saya
ke Makassar untuk membeli gitar.
Saya beli gitar ini di toko yang sama dengan
gitarku yang sebelumnya. Di jalan Somba Opu Makassar.
Saya beli yang menurutku mahal agar tidak berulang
kali lagi membeli gitar.
Gitar ini ku beli dengan harga 750rb plus soft
case-nya 50rb.
Ternyata gitar ini tidak bertahan lama, 3 tahun
kemudian tabungnya bengkok karena tidak mampu menahan tarikan senarnya.
Dari awal memang saya sudah mengkhawatirkan hal ini
karena ku rasa tabungnya tidak seberat gitar-gitar mahal. Tabungnya ringan dan
tipis.
Bodohnya aku membeli gitar di tempat yang sama,
tertipu dua kali.
Gitar tak sebanding dengan harganya.
Gitar ini ku tinggalkan di rumah kontrakan teman,
terserah dia mau bakar atau diterlantarkan.
Saat pindah tugas ke Makassar pada 2012, Aku tidak
membawanya ikut serta.
fotoku bersama gitar ke-3 ku. (doc 21-02-2008) |
4. Gitar
Listrik Hardee (2011)
Salah satu impianku sejak kecil adalah memiliki
gitar listrik.
Itu baru bisa terwujud di tahun 2011 dan saat
membelinya, aku tidak merencanakan.
Gitar ini ku beli di Bandung, saat aku ngikut
temanku cuti dan pergi ke Bandung.
Kebetulan dia memang homebase-nya di bandung.
Saat kami pulang dari Gunung Tangkuban Perahu di
Lembang, dia membawaku ke toko yang menjual alat-alat musik.
Karena melihat model gitar yang selama ini ku
impikan dan juga harganya yang lebih murah dibanding di Makassar, maka aku
akhirnya membelinya dengan harga 1.500.000.
Gitar ini sebenarnya harganya 1.700.000 tapi si
penjaganya bilang, beli aja gitar ini 1.500.000 tapi 300.000 nya untuk dia. Di
notanya tetap dia tulis 1.500.000.
Whateverlah...!
Saat si penjaga nge-tes gitar ini, dia memainkan
Parissiene Walkways dari Gary Moore dengan melodi asli dan melodi improvisasi.
Dia menjelaskan bagaimana cara bermain melodi agar
bisa masuk dengan musiknya tanpa harus menjiplak sama persis dengan lagu
aslinya.
Saat itu aku tidak mengerti sama sekali
penjelasannya dan hanya kagum dengan permainannya.
Dia juga mengajakku untuk belajar gitar dengannya
tapi sayang kesempatan ini tidak bisa ku ambil karena saya harus kembali ke
Makassar.
pulang ke Makassar bersama sang gitar (doc 27-04-2011) |
Saat ini di saat saya sudah ngerti tentang
permainan gitar, saya merasa suara gitar ini tidak sebagus saat dites oleh dia.
Memang, gitar sejelek apapun akan bagus terdengar
bila dimainkan oleh orang hebat, sebaliknya gitar sebagus apapun akan jelek
terdengar bila dimainkan oleh orang seperti saya :D
Saya sangat ingin suatu saat nanti memiliki gitar
Gibson Les Paul KW atau Epiphone yang seharga 3 juta-an.
Saya tidak mau lagi beli yang 1-juta-an karena saat
ini saya sudah ngerti mana gitar yang bagus dan tidak. Baik dari suara maupun
di saat kita memainkannya.
salah satu video cover-ku di youtube bersama sang gitar (doc 30-12-2015) |
No comments:
Post a Comment