Tuesday, April 5, 2016

Cerita Gitar Yang Pernah Ku Miliki

Ini adalah cerita tentang gitar-gitar yang pernah ku miliki.
Berikut ceritanya:

1.       Gitar Akustik Tak Bermerek (1997)

Ini adalah gitar pertamaku, dibelikan mama saat dia diklat di Semarang selama 3 bulan.
Saat itu tahun 1997 dan saya masih duduk di kelas 6 SD.
Memang saya pernah minta dibelikan gitar sebelumnya, tapi saat mama pergi ke Semarang saya tidak minta apa-apa.
Saat mama pulang, dia sudah membelikanku gitar ini.
Gitar akustik tak bermerek seharga 25 ribu rupiah.

Gitar ini tarikan senarnya sangat keras sehingga membuat sakit jari-jari.
Walaupun begitu gitar ini sangat ku banggakan karena pada saat itu tidak semua orang mampu membeli gitar.
Pada saat itu tidak semudah anak-anak sekarang untuk memiliki gitar.

Sore harinya saya langsung diajarin oleh tetangga memainkan lagunya Stinky yang berjudul Mungkinkah.
Tapi karena kemudian kami bermusuhan, akhirnya saya hanya belajar sendiri lewat catatan tangannya.
Lagu tersebut baru bisa ku kuasai saat perhelatan Piala Dunia 1998 usai.
Saat itu saya sudah mau naik ke kelas 1 SMP.
Lagu tersebut baru bisa ku mainkan dengan lancar setahun kemudian.

Saat bulan Juni 1999, jam 2 malam, saat kami semua masih terlelap, bukit di belakang rumah longsor dan menyebabkan aliran air hujan tersumbat.
Aliran tersebut kemudian masuk ke dalam rumah dan menggenangi lantai sampai ukuran mata kaki.
Gitar-ku yang ku sandarkan di samping lemari pun akhirnya jadi korban.
Dia basah dan tabungnya membuka.

Semua terjadi karena dia terlambat dievakuasi.
Saat itu saya bangun dan sangat sakit hati tapi tidak sampai nangis karena keadaan waktu itu sangat mencekam, saya takut kalau tanah dibelakang rumah akan longsor lagi dan menghancurkan rumah kami.
Kami hanya bisa berjaga, saya pun lanjut dengan menonton perhelatan Copa America 99 yang ditayangkan di TV.

Waktu itu juga lantai 2 rumah sedang dibenahi dan kebetulan saya suka dengan dunia pertukangan.
Bagiku Tukang itu orang hebat karena bisa membuat apa saja tanpa sekolah tinggi.
Banyak alat-alatnya yang coba-coba ku gunakan karena membuat penasaran.
Dari sinilah saya tahu gunanya dempul.

Saya pun langsung minta duit ke mama dan kemudian membeli dempul di pasar.
Sekaleng dempul habis buat merekatkan kembali tabung gitarku.
Setelah selesai di dempul, kemudian tabungnya ku cet warna hijau.
Tabung gitarnya jadi kian menebal dan teksturnya tidak rata tapi tetap halus karena ku amplas terlebih dahulu sebelum dicet.

Setelah saat itu, suara gitar tersebut tidak pernah kembali normal dan tarikan senarnya pun semakin keras, tenaga yang dikeluarkan untuk membentuk kunci palang semakin besar dan membuat ngos-ngosan.

Gitar tersebut menemaniku sampai tahun 2004.
Saya meninggalkannya karena harus melanjutkan pendidikan di Makassar.
Saat kembali pada tahun 2006, neck gitar tersebut sudah patah, mungkin sudah tidak kuat lagi menahan tarikan senarnya.

Tak ada dokumentasi tentang gitar pertamaku ini, karena saat itu fotografi tidak semurah dan semudah jaman sekarang, namun bentuknya kira-kira seperti ini:

replika gitar pertamaku


2.       Gitar Akustik Tak Bermerek (2004)

Saat menjalani pendidikan di Makassar, saat aku punya uang, yang pertama ku beli adalah gitar.
Sebuah gitar bolong tak bermerek ku beli di jalan somba opu Makassar seharga 250rb, harga yang cukup menyesakkan untuk anak kos-an pada jaman itu.
Dilema juga sebenarnya, karena dengan uang segitu, saya bisa membeli hp bekas, tapi karena lebih mengutamakan hobi, maka gitar-lah yang ku pilih.

Karena temanku adalah seorang gitaris, maka aku memintanya untuk memilihkan gitar yang terbaik.
Tak tahunya, saya menyesal kenapa harus mengikuti pilihannya.
Karena 2 hari kemudian, saat distem, bridge gitar tersebut tidak mampu menahan tarikan senar dan akhirnya bridge-nya terangkat.
Kami memperbaikinya dengan mengelem bridgenya namun itu tidak akan pernah membuatnya normal lagi karena stemannya sudah tidak bisa dikencangkan standar lagi.

Gitar ini tidak bertahan lama, hanya sekitar 4 bulan karena dicuri orang.
Pada suatu malam seperti biasa kami ngumpul-ngumpul di teras depan kamar kami. Kami ngobrol dan bermain gitar.
Karena tidak pernah terjadi apa-apa dan sudah biasa, gitarku ku tinggalkan di kursi depan kamarku.
Kos-kosan kami juga punya pagar yang tinggi di depan rumah pemiliknya.
Keesokan paginya kami belum menyadari gitar itu hilang karena kami sibuk ke kampus.
Pada malam hari, saat kami ngumpul dan ingin bermain lagi, barulah kami menyadari bahwa gitar itu hilang.

Beberapa hari kemudian, Di hari minggu, teman-temanku ke pantai losari untuk lari pagi.
Kebetulan kos-kosan kami hanya berjarak sekitar 250 meter dari pantai losari.
Saat mereka sedang santai, ada pengamen yang menghampiri dan menyanyikan lagu.
Si pengamen tersebut menenteng gitarku.
What the fuck? Gitarku dicuri kemudian dia pakai cari makan di depan kami?
Mungkin dia tidak tahu kalau kami pemilik gitar itu.

gitar ke-2-ku
(doc 2005)

  
3.       Gitar Akustik Yamaha (2007)

Saya kepengen lagi punya gitar setelah sekian lama tidak memilikinya.
Akhirnya pada saat sudah bekerja di Bulukumba, saya ke Makassar untuk membeli gitar.
Saya beli gitar ini di toko yang sama dengan gitarku yang sebelumnya. Di jalan Somba Opu Makassar.
Saya beli yang menurutku mahal agar tidak berulang kali lagi membeli gitar.
Gitar ini ku beli dengan harga 750rb plus soft case-nya 50rb.

Ternyata gitar ini tidak bertahan lama, 3 tahun kemudian tabungnya bengkok karena tidak mampu menahan tarikan senarnya.
Dari awal memang saya sudah mengkhawatirkan hal ini karena ku rasa tabungnya tidak seberat gitar-gitar mahal. Tabungnya ringan dan tipis.
Bodohnya aku membeli gitar di tempat yang sama, tertipu dua kali.
Gitar tak sebanding dengan harganya.

Gitar ini ku tinggalkan di rumah kontrakan teman, terserah dia mau bakar atau diterlantarkan.
Saat pindah tugas ke Makassar pada 2012, Aku tidak membawanya ikut serta.

fotoku bersama gitar ke-3 ku.
(doc 21-02-2008)


4.       Gitar Listrik Hardee (2011)

Salah satu impianku sejak kecil adalah memiliki gitar listrik.
Itu baru bisa terwujud di tahun 2011 dan saat membelinya, aku tidak merencanakan.

Gitar ini ku beli di Bandung, saat aku ngikut temanku cuti dan pergi ke Bandung.
Kebetulan dia memang homebase-nya di bandung.
Saat kami pulang dari Gunung Tangkuban Perahu di Lembang, dia membawaku ke toko yang menjual alat-alat musik.
Karena melihat model gitar yang selama ini ku impikan dan juga harganya yang lebih murah dibanding di Makassar, maka aku akhirnya membelinya dengan harga 1.500.000.

Gitar ini sebenarnya harganya 1.700.000 tapi si penjaganya bilang, beli aja gitar ini 1.500.000 tapi 300.000 nya untuk dia. Di notanya tetap dia tulis 1.500.000.
Whateverlah...!

Saat si penjaga nge-tes gitar ini, dia memainkan Parissiene Walkways dari Gary Moore dengan melodi asli dan melodi improvisasi.
Dia menjelaskan bagaimana cara bermain melodi agar bisa masuk dengan musiknya tanpa harus menjiplak sama persis dengan lagu aslinya.
Saat itu aku tidak mengerti sama sekali penjelasannya dan hanya kagum dengan permainannya.
Dia juga mengajakku untuk belajar gitar dengannya tapi sayang kesempatan ini tidak bisa ku ambil karena saya harus kembali ke Makassar.

pulang ke Makassar bersama sang gitar
(doc 27-04-2011)

Saat ini di saat saya sudah ngerti tentang permainan gitar, saya merasa suara gitar ini tidak sebagus saat dites oleh dia.
Memang, gitar sejelek apapun akan bagus terdengar bila dimainkan oleh orang hebat, sebaliknya gitar sebagus apapun akan jelek terdengar bila dimainkan oleh orang seperti saya :D

Saya sangat ingin suatu saat nanti memiliki gitar Gibson Les Paul KW atau Epiphone yang seharga 3 juta-an.

Saya tidak mau lagi beli yang 1-juta-an karena saat ini saya sudah ngerti mana gitar yang bagus dan tidak. Baik dari suara maupun di saat kita memainkannya.

salah satu video cover-ku di youtube bersama sang gitar
(doc 30-12-2015)


No comments:

Post a Comment