Tuesday, January 28, 2014

Kisah kenaikan rumah kontrakanku

Harga rumah kontrakanku tahun ini naik dari sebelumnya 10 jt menjadi 12 jt per tahun.
Itu artinya memakan 15% penghasilanku tiap bulannya.
Sakit hati rasanya udah sebulan kerja dan menanti gaji ternyata 15% nya harus disetor ke orang lain.

Januari 2014, tepat 2 tahun aku bertugas di Makassar.
Sudah 2 kali ngontrak rumah.
Tahun 2012 di tamalate yang merupakan tahun pertama sebesar 9 jt.
Tahun 2013 di rapokalling yang merupakan tahun kedua sebesar 10 jt.
Dan tahun 2014 ini melanjutkan di rapokalling sebesar 12 jt.

Total selama 2 tahun ini aku menghabiskan 29 juta hanya untuk mengontrak rumah.
Terbayang bahagianya bila uang sebanyak itu dipakai untuk uang muka membeli rumah sendiri.
Tapi apa daya, sudah merupakan kewajiban aku ditugaskan di kota ini.

Ada yang membuat dada ini sedikit lebih bersyukur karena ada beberapa teman juga yang mengontrak lebih mahal dari aku dan lokasinya jauh dari kantor. Resiko telat dan macet apalagi pada saat ada demo mahasiswa. Kontrakannya ada yang sama 12 jt, 14 jt dan 16 jt.
Aku masih bersyukur karena tempatku bebas dari macet dan sangat dekat dari kantor. Jika naik mobil 8 menit dan kalau naik motor bisa 5 menit yang tentu saja berpengaruh terhadap dana untuk bensin mobilku tiap bulannya.

Namun bila melihat teman-teman yang ditempatkan di homebase yang sudah punya rumah dan investasi, hatiku terasa sesak.
Aku belum punya bentuk investasi.
Aku punya mobil tapi itu hanya menjadi sumber keran pengeluaran terbesar.
Tiap bulan aku harus membayar cicilan mobil sebesar 41%, kontrakan 15%, total 56%.
Jadi penghasilanku tersisa 44% saja. Itupun aku masih harus membayar uang bensin dan listrik yang dapat menghabiskan tidak kurang dari 8% penghasilan.
Jadi penghasilan yang dapat aku gunakan untuk makan dan hiburan tiap bulannya tersisa 36% jauh dari stadar mininal ahli ekonomi yang menganjurkan minimal tiap bulannya bersisa 70%.

Jadi selama 2 tahun pernikahanku ini, aku tidak pernah membawa istriku untuk pulang ke kampungnya.
Begitupun juga dengan diriku.
Lebaran idul fitri 2013 lalu kami lalui hanya berdua di kota ini karena tidak punya dana untuk mudik.
Hanya sepi yang kami rasakan di saat orang menikmati libur panjang bersama keluarga besar mereka.
Kami jadi penjaga kompleks selama seminggu karena semua tetangga (total ada 5 kepala keluarga) di kompleks kami pada pulkam merayakan idul fitri di kampung halaman mereka masing-masing.

Memang pada Desember 2013 lalu kami sempat pulang ke kampung halamanku Bau-Bau, tapi itupun karena ibuku yang memaksa dan bersedia menanggung ongkos perjalanan kami pulang-pergi.
Pada awalnya kami menolak karena tabungan kami akan dipakai untuk membayar kontrakan yang jatuh pada bulan Februari 2014.
Tapi karena ibuku memaksa dan bersedia menanggung biaya perjalanan  kami, akhirnya kami jadi juga pulang ke Bau-Bau.
Awalnya dia menyuruh kami naik pesawat cepat sampai, namun aku berpikir untuk tidak menyusahkan ibu. Aku memilih untuk naik kapal saja, walaupun lebih susah di jalan tapi kapal jauh lebih murah dan istriku juga pengen merasakan naik kapal untuk pertamakalinya.

Memang alasan utamanya kami ke sana adalah untuk menghadiri pernikahan adik paling bungsu ibuku, tapi ini juga menjadi sarana refreshing buat kami yang selama setahun penuh tidak pernah berkumpul bersama keluarga.

Terimakasih ibu.

No comments:

Post a Comment