Harga rumah kontrakanku tahun ini naik dari sebelumnya 10 jt menjadi 12
jt per tahun.
Itu artinya memakan 15% penghasilanku tiap bulannya.
Sakit hati rasanya udah sebulan kerja dan menanti gaji
ternyata 15% nya harus disetor ke orang lain.
Januari 2014, tepat 2 tahun aku bertugas di Makassar.
Sudah 2 kali ngontrak rumah.
Tahun 2012 di tamalate yang merupakan tahun pertama
sebesar 9 jt.
Tahun 2013 di rapokalling yang merupakan tahun kedua
sebesar 10 jt.
Dan tahun 2014 ini melanjutkan di rapokalling sebesar 12
jt.
Total selama 2 tahun ini aku menghabiskan 29 juta hanya
untuk mengontrak rumah.
Terbayang bahagianya bila uang sebanyak itu dipakai
untuk uang muka membeli rumah sendiri.
Tapi apa daya, sudah merupakan kewajiban aku ditugaskan
di kota ini.
Ada yang membuat dada ini sedikit lebih bersyukur karena
ada beberapa teman juga yang mengontrak lebih mahal dari aku dan lokasinya jauh
dari kantor. Resiko telat dan macet apalagi pada saat ada demo mahasiswa.
Kontrakannya ada yang sama 12 jt, 14 jt dan 16 jt.
Aku masih bersyukur karena tempatku bebas dari macet
dan sangat dekat dari kantor. Jika naik mobil 8 menit dan kalau naik motor bisa
5 menit yang tentu saja berpengaruh terhadap dana untuk bensin mobilku tiap
bulannya.
Namun bila melihat teman-teman yang ditempatkan di
homebase yang sudah punya rumah dan investasi, hatiku terasa sesak.
Aku belum punya bentuk investasi.
Aku punya mobil tapi itu hanya menjadi sumber keran
pengeluaran terbesar.
Tiap bulan aku harus membayar cicilan mobil sebesar 41%,
kontrakan 15%, total 56%.
Jadi penghasilanku tersisa 44% saja. Itupun aku masih
harus membayar uang bensin dan listrik yang dapat menghabiskan tidak kurang
dari 8% penghasilan.
Jadi penghasilan yang dapat aku gunakan untuk makan dan
hiburan tiap bulannya tersisa 36% jauh dari stadar mininal ahli ekonomi yang
menganjurkan minimal tiap bulannya bersisa 70%.
Jadi selama 2 tahun pernikahanku ini, aku tidak pernah
membawa istriku untuk pulang ke kampungnya.
Begitupun juga dengan diriku.
Lebaran idul fitri 2013 lalu kami lalui hanya berdua di
kota ini karena tidak punya dana untuk mudik.
Hanya sepi yang kami rasakan di saat orang menikmati
libur panjang bersama keluarga besar mereka.
Kami jadi penjaga kompleks selama seminggu karena semua
tetangga (total ada 5 kepala keluarga) di kompleks kami pada pulkam merayakan
idul fitri di kampung halaman mereka masing-masing.
Memang pada Desember 2013 lalu kami sempat pulang ke
kampung halamanku Bau-Bau, tapi itupun karena ibuku yang memaksa dan bersedia
menanggung ongkos perjalanan kami pulang-pergi.
Pada awalnya kami menolak karena tabungan kami akan
dipakai untuk membayar kontrakan yang jatuh pada bulan Februari 2014.
Tapi karena ibuku memaksa dan bersedia menanggung biaya
perjalanan kami, akhirnya kami jadi juga
pulang ke Bau-Bau.
Awalnya dia menyuruh kami naik pesawat cepat sampai,
namun aku berpikir untuk tidak menyusahkan ibu. Aku memilih untuk naik kapal
saja, walaupun lebih susah di jalan tapi kapal jauh lebih murah dan istriku
juga pengen merasakan naik kapal untuk pertamakalinya.
Memang alasan utamanya kami ke sana adalah untuk
menghadiri pernikahan adik paling bungsu ibuku, tapi ini juga menjadi sarana
refreshing buat kami yang selama setahun penuh tidak pernah berkumpul bersama keluarga.
Terimakasih ibu.
No comments:
Post a Comment