Thursday, March 20, 2014

kisah mengajari orang bermain gitar

Ini kisah seorang Ahmad Syawal Kurniawan dalam mengajari orang lain bermain gitar.

Pada tahun 2002 lalu setelah tamat SMA, kakakku kembali dar Bau-Bau ke Kendari untuk kuliah.
Untuk mengisi waktunya dan agar dia bisa juga eksis saat ngumpul dengan teman-temannya di kampus, Dia memintaku untuk mengajarkannya bermain gitar.

Saat itu aku sudah tidak semangat bermain gitar karena sudah 5 tahun belajar tapi aku tidak mengalami perkembangan yang berarti.

Aku mengajarinya dengan antusias.
Dan aku lihat dia belajar dengan tekun.
Selain aku ajari, dia juga rajin membeli majalah gitar dan juga suka gabung sama teman-temannya yang bisa main musik.

Dibandingkan dengan aku, perkembangannya tergolong sangat cepat.
Dalam tempo sekitar 3 sampai 4 bulan dia sudah bisa mengganti-ganti kunci.
Bandingkan dengan aku yang butuh waktu setahun untuk melincahkan tanganku.

Itulah perbedaan diantara kita.
Dia banyak referensi sementara aku hanya belajar sendiri.
Sekarang I’m nothing dibanding dia!

Kisah ke 2 terjadi pada tahun 2008.
Saat itu adik sepupuku yang bernama Rizal di beliin gitar oleh mamaku.
Dia sedari kecil memang sangat meminati everything about music.
Suka menyanyi, suka memukul apa saja untuk dijadikan drum, suka memainkan gitar dan piano khayalan.
Namun orang tuanya tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan satupun alat musik buatnya.
Dan akhirnya ditahun itu dia memiliki gitar pertamanya.

Di saat libur lebaran Idul Fitri aku pulang ke Bau-Bau.
Aku ingat pada saat dia meminta tolong aku untuk menyetemkan senar gitarnya.
Kemudian aku bertanya-tanya, bagaimana nasibnya ya di saat aku tidak ada nanti?
Siapa yang akan menyetemkan gitarnya jika setelannya fals?
Siapa yang akan mengajarinya kunci-kunci?
Sementara keadaan di Bau-Bau, tidak ada seorangpun keluarga terdekat yang minat dan bisa memainkan gitar.

Dia kemudian berguru sama Andi yang rumahnya berhadapan dengan rumahnya.
Yang jika dilihat dari pohon keluarga, dia berstatus sebagai paman kami.
Tapi dia tidak lebih hebat dariku.
Aku mengkhawatirkan perkembangannya nanti.

Jarang bertemu karena aku bekerja di Makassar, di saat aku bertemu dia di Lebaran-Lebaran berikutnya, dia menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Hanya butuh 2 tahun dia untuk naik panggung. Saat itu dia kelas 3 SMP.
Walaupun saat itu permainannya masih standar tapi diantara teman-teman sekolahnya, dialah yang terhebat dan dia punya nyali.

Teknologi sudah tidak seperti jamanku dulu.
dia tidak belajar dari siapa-siapa.
Dia hanya belajar dari video-video di Youtube.
Belajar tablature dari internet.
Dan melatih instingnya dengan bermain gitar berjam-jam setiap hari.
Setiap hari dia tidak pernah absen memainkan gitarnya.

Alhasil sekarang aku sangat sangat sangat nothing dibanding dia.
Begitu lincahnya dia memainkan melody Sweet Child o’ mine dan Canon Rock sementara aku sampai sekarang belum sepenuhnya menguasainya.
Dia sudah bergelar gitaris dan punya pengalaman naik panggung berkali-kali sementara aku satupun tak pernah.

Kalau aku bilang, itulah salah satu contoh bakat alam.
Bakat natural yang dimilikinya sejak lahir.
Sejak kecil mencintai musik.

Itulah kisahku.
Dua mantan muridku.
Sekarang...... sang guru menjadi sang murid!

No comments:

Post a Comment