Wednesday, October 26, 2016

Dari Susahnya Move On Hingga Susahnya Move On #1

Kata beberapa orang, ditempatkan luar home base adalah "Liburan gratis".
Iya, bagi orang yg sedang nyaman di home base memang mudah mengatakan seperti itu, apalagi orang yang malah gak pernah keluar. :)

Menurutku, lebih sulit untuk move on bila kita dari kota yang lebih besar ke kota yang lebih kecil dibanding sebaliknya.
Karena di kota besar, banyak tempat hiburan, sekurang-kurangnya suara bising kendaraan atau suara hiruk pikuk manusia dapat menjadi pengisi kekosongan.

Saya sudah dua kali mengalami susahnya move on.
Kali ini saya akan menceritakan kisah yang pertama.

Yang pertama diawali pada September 2005 saat pertamakali penempatan di Bantaeng.
Saya waktu itu masih buta, di mana tempat dan bagaimana keadaan kota itu.
Seminggu sebelum berangkat, saya diinfokan oleh seorang kenalan, katanya Bantaeng itu dekat dan rame, dia biasa pulang-balik jualan ke sana.
Dia mengajak saya boncengan naik motor ke sana untuk tinjau lokasi.
Saya menolak karena hatiku sudah tenang dapat kabar itu.
Menurutku bila dapat ditempuh pulang-balik, berarti kota tersebut masih aman karena dekat dari Makassar.

Seminggu kemudian, saya berangkat bareng 5 teman senasib naik mobil yang disopiri bapak temanku.
Rasanya sudah beberapa jam naik mobil itu, dari jalan yang rame sampe mobil yang cuma sekali-sekali berpapasan tapi belum sampai juga.

Jam 3 sore mobil berhenti, kami kemudian singgah ke rumah makan yang jualan ikan bandeng bakar.
Saya duduk menghadap ke jalan, saya melihat di seberang jalan kecil dan sepi itu ada atm bni. Itulah kesan pertamaku.

Sebelum pesanan sampai ke meja, saya bertanya, berapa lama lagikah kita sampai?
Dan dijawab oleh bapaknya temanku bahwa "inilah Bantaeng"!
Saya langsung shock, sakit hati, tenggorokan sakit, dan jadi nggak nafsu makan.
Saya hanya melihat jalan kecil itu.
Bagaimana mungkin dia bilang Bantaeng itu rame?!
Saya sakit hati dan merasa tertipu.

Selesai makan, kami ke mesjid agung untuk shalat.
Saya benar-benar tidak khusyuk, yang ada dalam hati adalah berontak pengen nangis.
Waktu itu saya kecewa pada Tuhan yang memberikan saya cobaan seperti itu.

Tidak sampai seminggu lagi akan memasuki bulan puasa.
Bila tahun lalu saya mengeluh memasuki bulan puasa serasa tidak memasuki bulan puasa karena tidak ada lagi keluarga yang menemani, tidak ada lagi ragam masakan untuk menyambut Ramadhan, tapi itu masih mendingan karena masih ada temanku dan kakaknya yang menemani. Kebetulan kakaknya wanita dan malam itu akhirnya bisa juga makan ayam.
Tahun ini rasanya bakal lebih sepi dan lebih sulit dari itu.
Selama sebulan menjalani Ramadhan saya sulit makan, malas bicara dan sulit tersenyum.
Saya benar-benar tidak bisa move on dari kehidupan kota.

Berfoto di depan rumah kontrakan sebelum tugas luar
ke Jeneponto. Dokumentasi paling awal di Bantaeng (12.12.05)

Waktu itu, bila akhir pekan, saya dan teman-teman selalu numpang di mobil kijang tua milik bos untuk ke Makassar.
Walaupun numpuk dan harus melantai di belakang, tetap dijalani.
Lepas shalat jumat, sudah mengawasi gerak-gerik bos agar tidak ketinggalan.
Rasanya sakit hati banget bila ketinggalan beberapa detik.
Saya pernah mengalami demikian, kebetulan rumah kontarakan kami berjarak sekitar 3 rumah dari Si Bos.
Sebelum ke Makassar, dia singgah dulu ke rumahnya ngambil barang, begitu juga denganku.
Tapi saya terlambat beberapa detik, saat saya keluar, Si Bos baru saja menutup pintu belakang mobil kemudian berjalan masuk ke mobil.
Tidak mungkin saya berlari atau teriak waktu itu. Tidak sopan.
Rasanya hina banget kalau dibayangin sekarang, begitulah nasib orang yang gak punya uang.

Karena kantor baru telah dibuka, maka Januari 2006 saya harus pindah di Bulukumba yang artinya mesti bergeser 30 km lebih jauh lagi.
Saat itu kantor baru punya 4 orang pegawai dan atasannya masih pinjaman dari Bantaeng.
Saya masih juga belum tenang jauh dari keramaian, saya masih sering berakhir pekan di Makassar.
Padahal kalau dipikir, ngapain saya ke sana? saya sudah tidak punya tempat di sana.
Setiap ke sana saya hanya numpang di kosan teman.
November sampai Desember 2006 saya malah tiap minggu ke Makassar karena ngikutin kursus gitar listrik.
Suatu alasan agar saya punya tujuan bila ke Makassar.

Saat pulang kantor. Dokumentasi paling awal di Bulukumba (06.03.06)

Februari 2007, saat saya terima rapelan, langsung saya belikan motor besar agar tidak tergantung lagi pada orang lain kalau mau ke Makassar, padahal waktu itu saya belum bisa bawa motor kopling.
Pada awalnya, saya masih bergantung pada teman untuk membawa motor itu, tapi karena berlatih sedikit demi sedikit akhirnya saya bisa juga membawanya sendiri, dan akhirnya saya benar-benar mandiri.
sulit hidup di Bulukumba waktu itu, karena warnet yang pertamapun baru muncul tahun 2008.

Uang dihabiskan untuk beli motor biar bisa mandiri (11.04.07)

Selama 2 tahun saya masih berharap pindah dari Bulukumba.
Saya tidak pernah punya pikiran ke Makassar, menurutku tempat itu hanya untuk orang yang hebat, terkenal atau punya pergaulan bagus.
Saya hanya ingin kembali ke Tenggara.

Pertengahan tahun 2008, muncullah pengumuman yang dinanti, ternyata saya masih tetap harus di Bulukumba, di saat itulah saya memutuskan untuk berhenti berharap, dan waktu itu ada teman yang membuat program untuk melupakan kekecewaan.
Katanya, kalau akhir pekan, kita harus benar-benar liburan, mengisinya dengan jalan-jalan atau fun semaksimal mungkin.
Kegiatan menyibukkan diri terakhir yang saya ikuti adalah perawatan wajah di Erha Clinic Makassar selama 3 bulan.

Setelah itu lama kelamaan, saya mulai sadar akan resiko bila saya tiap minggu berjalan jauh ke Makassar.
Dan saya juga mulai berpikir ngapain saya terus-terusan ke Makassar kalau hal yang saya lakukan sama saja? tidak membuatku berkembang.

Akhirnya saya mulai menikmati tinggal di Bulukumba.
Saya menikmati tenangnya tinggal di sana, apalagi pada Agustus 2009 kantor kedatangan 3 anak muda petualang.
Pantai Bira yang hanya saya kunjungi setahun paling banyak 2 kali akhirnya menjadi paling lama 3 bulan sekali, membuatku tak lagi antusias bila diajak ke sana.
Petualang gila ke Toraja sekaligus mengelilingi Sulawesi Selatan karena pergi lewat jalur timur dan pulang lewat jalur barat pada Desember 2009, sungguh kenangan yang tak terlupakan.
Selasa, 18 Agustus 2009 futsal kantor mulai digalakkan, waktu itu lapangan futsal satu-satunya di Bulukumba baru saja buka dan tim kami termasuk member yang paling awal.

Desember 2010, kantor kembali kedatangan 4 anak muda yang membuat kantor dan futsal makin menarik.
Rasanya tidak mau pergi dari sana, tapi saya sadar bahwa pertemuan itu hanyalah kemungkinan, sementara perpisahan adalah hal yang pasti.
Kalau bukan saya yang meninggalkan, pastilah saya yang ditinggalkan.
Kami tidak mungkin bersama terus sampai 30 tahun ke depan.
Tapi ini adalah tahun ke 5 saya di Bulukumba, yang artinya sinyal mutasi makin dekat menghampiriku.
Saya sudah harus siap pindah entah ke mana.

Tahun 2011 saya sempat ditanya sama Bos, kalau saya pindah, saya maunya ke mana?
Saya jawab, kalau saya tidak pindah di Sulawesi Tenggara, biarlah saya di sini saja.
Ya, bila tidak pindah ke tenggara maka saya memilih untuk tidak pindah ke mana-mana karena saya telah sangat nyaman di Bulukumba.

November 2011 muncullah pengumuman tertinggi dari negara bahwa saya pindah di tempat yang tidak pernah saya bayangkan, Makassar.
Saya shock dan pengen nangis mengetahui seorang diri pindah ke Makassar.

Sabtu 17 Desember 2011 bersamaan diadakan kegiatan out bond di Bantaeng sekaligus acara resmi perpisahanku.
Tapi karena tugas yang mesti di selesaikan, saya baru berangkat ke Makassar tepat pada 01 Januari 2012.

Pesan dan kesan pada acara perpisahan (17.12.11)

Saya sangat bersyukur dan beruntung bisa bertemu dengan orang-orang hebat di sana, keberagaman karakter namun tetap kompak.
Kebersamaan di sana akan menjadi salah satu kenangan yang terindah dalam hidup.

Kalau diingat, 6 tahun sebelumnya saya pernah tidak bisa makan dan malas bicara selama sebulan karena ditempatkan di kota kecil.
Kini saya mengalami hal yang serupa lagi. sulit move on!
Pergi dari sana meninggalkan kenyamanan selama 4 tahun terakhir merupakan hal yang sangat sulit.
Membuatku mengerti, ternyata waktu dan lingkunganlah yang membuat kita akhirnya bisa move on.

Bila dirangkum akan seperti ini:
2005-08 Susahnya move on dari keramaian Makassar dan masih berharap pindah
2008-11 Berhenti berharap, makin nyaman hingga susahnya move on dari Bulukumba

Itulah kisah susahnya move on hingga susahnya move on yang pertama.
Berikutnya saya akan bercerita tentang kisah yang kedua.

No comments:

Post a Comment