Thursday, October 6, 2016

Pengalaman Nginjak Beling

Produktif banget malam ini, memang kalau lagi sendiri tak ada hiburan enaknya nulis.
Ingatan, pikiran dan khayalan itu mengalir dengan sangat lancar.
Ini adalah tulisan ketiga dan yang terakhir yang muncul dari kamar hotel Diana Mamuju, Sulawesi Barat, 

Sudah lama saya pengen menceritakan tentang pengalamanku yang satu ini, tapi tidak pernah terealisasikan karena keterbatasan waktu dan juga mood.
Berhubung sekarang lagi mood maka sebelum lupa, saya pengen menceritakannya.
Ini adalah pengalaman yang dekat dengan kematian.
Pengalaman masa kecil yang terjadi 21 tahun silam, saat saya masih duduk di kelas 4 SD.

bekas nginjak beling, 5 jahitan (06.10.16)

Sabtu siang di tahun 1995, Saat pulang sekolah, saya melihat di got tempat kami sering bermain ada pecahan botol menancap di tanah dengan bagian runcingnya menghadap ke atas.
Dalam hati saya berkata “bahanya kalau ada yang injak, bisa tembus kakinya”.
Apalagi anak-anak sering bermain di sekitar situ.
Saya sangat waspada terhadap beling itu.

Jam 2 siang hujan mulai turun dan makin lama seperti biasa got sudah dialiri air  yang mengalir dari hulu gunung yang menngelilingi lorong kami.
Got di depan rumahku sampai di dekat beling itu kebetulan baru disemen, jadilah tempat itu mainan favorit anak-anak.
Ada yang mandi-mandi, ada yang buang kayu, sendal, bola atau apapun lalu dikejar sampai ke ujung lorong, seolah-olah itu adalah kapal-kapalan.

Saudara-saudara dan teman-temanku bermain di depan rumah saja, got di situ lebar, bersih dan air yang mengalir deras.
Saya sibuk bermain kapal-kapalan sendiri.
Dari atas jalan, Saya buang kapalku dan saya kejar, berulang-ulang seperti itu dan terasa seru.
Sampai tibalah naasnya, saat saya berlari mengejar dan kemudian melompat ke got yang ada beling untuk mengamankan kapalku sebelum terbawa arus terlalu jauh.
Saat kaki telah tenggelam di air got yang keruh, saya terdiam dan teringat tentang pecahan botol yang sangat saya waspadai tadi.
Perlahan-lahan saya angkat kaki kananku, dan ternyata benar, apa yang saya takutkan dan ingat-ingat justru benar-benar terjadi padaku.
Aneh, saya tepat melompat ke arahnya!

Saya naik ke atas jalan, duduk dan melihat apa yang terjadi.
Saya buka sobekannya dan melihat isi dalam kakiku, ada bentuk lingkaran kecil berwarna silver dan dikelilingi serabut, sampai sekarang kalau saya mengingat itu, saya mengandaikannya seperti insang atau mata ikan.
Saya tidak berani melihat lebih jauh lagi, saya hanya berusaha menutup lukanya.

Tempat kejadian merupakan lokasi favorit bermain anak-anak, di depannya itu ada rumah dan warung temanku.
Tidak lama kemudian, bapaknya temanku melihatku kemudian memanggilku.
Saya menghampirinya dan dia pun berusaha menutupi lukaku dengan handyplast.
Lukanya tidak bisa tertutup karena kakiku terlalu basah dan sobeknya besar, handyplastnya selalu lepas.
Dia menyuruhku pulang, disitulah saya kemudian menangis.
Saya mengangis bukan karena sakitnya, karena memang saya tidak merasakan sakit.
Saya takut dimarahi bapakku.

Hujan sudah reda dan tidak lama kemudian, terdengar suara saudara dan teman-teman, memanggilku pulang, “Awaaang….Awaaaang….pulaaaang, ko dicarii…..!”.
Saya hanya terduduk diam dan menangis, saya takut pulang.

Akhirnya mereka menemukanku, mereka kaget melihat kondisiku.
Setelah tenang dan berhenti nangis, akhirnya saya mau pulang, karena tidak mungkin saya bertahan di luar terus tanpa ketahuan orang tua.

Saya langsung masuk rumah dan ke ruang tengah menghindari bapak yang sedang berkonsultasi dengan tetangga yang waktu itu lagi sekolah keperawatan dan magang di rumah sakit.
Dia datang dan melihat kondisiku, katanya lukaku ini tidak ada cara lain selain dijahit.
Sebenarnya saya malu harus bertemu dengan dia, kami bersaudara waktu itu lagi masa-masanya bermusuhan dan sering banget bermasalah dengan adik-adiknya.

Saya waktu itu menenangkan diri dengan nanya-nanya ke adikku yang baru 3 bulan sebelumnya mendapat 3 jahitan di dahinya karena terjatuh dan terbentur rel pintu geser di kantor ibuku.
Dia bilang tidak sakit, karena disuntik keram terlebih dahulu.
Mental sedikit terangkat mengingat dia seorang wanita dan baru berusia 4 tahun dan bisa melewatinya.
Akhirnya saya diantar bapak ke rumah sakit, si tetangga pun juga ikut.

Lukanya mendapat 5 jahitan.
Saat dijahit, yang paling menyakitkan adalah saat disuntik keram.
Waktu dijahit sebenarnya tidak terlalu sakit tapi karena trauma rasanya disuntik keram dan juga ketakutan akhirnya tetap terus nangis sambil teriak-teriak.
Waktu itu ada seorang pasien bapak-bapak sampai dipindah ke ruangan lain karena tidak tahan mendengar teriakanku.
Kata bapakku yang menunggu di luar ruangan, suara teriakanku terdengar sampai di luar.

Setelah dijahit inilah kakiku baru mulai terasa sakitnya.
Sebelum pulang, kata dokter pada bapakku, kalau lukanya sekitar 1 cm lagi ke bawah, saya bisa mati karena di sana berhubungan dengan jantung.

Karena luka ini, saya harus absen dari sekolah selama 3 minggu.
Mandipun sambil ngangkat kaki satu.
Boker pun hanya bertumpu dengan satu kaki karena kaki kanan diluruskan, nyeboknya pun setengah mati.

Ada beberapa hal yang membekas di ingatanku saat masa perawatan luka ini sampai sembuh yaitu:

1.   Saya bertemu dengan anak yang mungkin sekitar 3 tahun lebih tua dariku yang mengalami hal serupa dan itu jadi penyemangatku. Kakinya harus dijahit karena nginjak beling karena dia ngejar-ngejar ayam.

2.      Perban harus diganti sekitar 3 atau 4 hari sekali di rumah sakit.
Saat mengganti perban untuk kali kedua, yang mengganti perbanku adalah seorang perawat wanita, badannya gemuk, mungkin waktu itu dia lagi magang juga. Mukanya kelihatan tidak secerah perawat sebelumnya.
Saya sudah mengingatkan untuk membukanya pelan-pelan karena kakiku lagi bengkak, memerah dan dasar perbannya melengket di lukanya yang basah
Dia bilang iya, tapi kenyataanya dia tidak cukup sabar dan membukanya dengan hentakan keras.
Kulitku ikut tertarik dan lengket bersama perbannya, nanah keluar dari sela-sela lukaku.
Saya sakit hati terhadap pelayanan dan muka judesmu wahai perawat!

3.    Kejadian yang paling tak terlupakan adalah saat pulang dari mengganti perban itu, saya tidak kuat untuk berjalan sendiri, ibuku menggendongku di belakangnya.
Jarak dari depan lorong sampai ke rumah sekitar 300 meter, dan setiap saya pulang ke Kendari bersama istri, kami sering mengeluh harus berjalan sampai ke rumah karena membuat kami capek.
Memang waktu itu bobotku mungkin masih sekitar 30-an kilo dan umur ibuku masih 40 tahun.
Tapi bila mengingat itu, selalu membuatku sedih, pengen nangis, mengingat betapa ibuku menyayangiku dan sampai sekarang saya merasa belum memberi banyak untuknya.
Dia harus selalu izin dari kantor untuk mengantarku kontrol ke rumah sakit
I love you, I love you, I love you so much!
Maafkanlah anakmu yang selalu merepotkan ini.
Semoga Tuhan memanjangkan umurnya sampai melihat cicitku menikah.

Sudah jam 12 malam, tak terasa saya sudah menulis 3 judul selama 4 jam, dan yang terakhir ini yang paling panjang ceritanya.
Lega rasanya bisa menceritakan pengalaman yang satu ini.
Saya sudah lama pengen menulisnya sebelum saya benar-benar lupa.
Sekarang saya pengen tidur.
Terima kasih Tuhan untuk ingatan yang yang Kau berikan padaku.

No comments:

Post a Comment